
Oleh : Zulfah
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb
semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada RasulullahShallallahu 'Alaihi
Wasallam, keluarga dan para
sahabatnya.
Setiap muslim wajib mencintai Nabinya,
Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Mencintai beliau tidaklah seperti mencintai
manusia selainnya. Karena mencintai beliau termasuk pokok ajaran dien dan pondasi dasar
keimanan. Bahkan kita menjadikan kecintaan kepada beliau sebagai bagian
dari ibadah yang agung. Kita beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan
mencintai dan memuliakannya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala,
فَالَّذِينَ آَمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ
وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
"Maka orang-orang yang
beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang
yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang
beruntung." (QS. Al-A'raf:
157)
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ
أَنْفُسِهِمْ
"Nabi itu (hendaknya)
lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri." (QS. Al-Ahzab: 6)
Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam bersabda,
"Dan demi Zat yang jiwaku berada di tangn-Nya (Demi Allah),
tidaklah beriman salah seorang kamu sehingga aku lebih ia cintai daripada
diirnya, hartanya, anaknya, dan manusia seluruhnya." (HR. Al-Bukhari)
Di dalam al-Shahih disebutkan, Amirul Mukminin
Umar bin al-Khathab Radhiyallahu 'Anhu berkata: "Wahai Rasulullah, demi Allah
sungguh engkau adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu
kecuali diriku." Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya, "Tidak, wahai Umar,
sehingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri." Lalu Umar
berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah sungguh engkau adalah orang yang
paling aku cintai daripada segala sesuatu sehingga daripada diriku
sendiri." Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallammenyahut, "Sekarang (baru benar) wahai
Umar."
Maka dari sini diketahui, mencintai Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam bukan urusan nomor dua atau suatu pilihan, yakni jika seseorang
mau mencintainya maka ia boleh mencintainya dan jika tidak mau maka tidak
apa-apa. Tetapi mencintai Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah kewajiban atas setiap muslim yang menjadi
inti keimanan. Kecintaan kepada beliau ini haruslah lebih kuat daripada
kecintaan terhadap apapun, sampai kepada diri sendiri.
Sedangkan bukti kecintaan kepada beliau Shallallahu
'Alaihi Wasallam adalah dengan berittiba’ (mengikuti sunnahnya), taat dan berpegang teguh
pada petunjuknya. Mengambil setiap yang beliau Shallallahu
'Alaihi Wasallam berikan dari urusan dien ini dan meningalkan apa yang beliau
larang. Sehingga seorang pecinta Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallamakan membenarkan setiap yang beliau beritakan,
mentaati apa yang beliau perintahkan, meninggalkan apa yang beliau larang, dan
tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang disyariatkannya.
Allah Ta'ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Katakanlah: "Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran: 31)
Al Qadhi 'Iyadl rahimahullah, berkata: "Di antara bentuk cinta kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah dengan menolong sunnahnya, membela
syariahnya, berangan-angan hidup bersamanya, . . . "
Ibnu Rajab, dalam Fathul Bari
Syarh Shahih al Bukhari, menyebutkan bahwa kecintaan bisa sempurna dengan ketaatan,
sebagai firman Allah Ta'ala:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ
"Katakanlah: "Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku." (QS. Ali Imran: 31)
Karenanya klaim cinta kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam tidak dapat diterima dengan sekadar memeringati hari kelahiran
beliau. Di mana hal itu tidak pernah dilakukan oleh umat terbaik yang telah
membuktikan kecintaan kepada beliau dengan sebenar-benarnya. Mereka korbankan
jiwa, raga, dan apa saja yang mereka miliki untuk mendukung Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam.
Maka jika kebenaran cinta kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah dengan memperingati dan merayakan hari
kelahirannya, pastinya para sahabat akan lebih dulu mengerjakannya. Jika
merayakan maulid adalah memiliki pahala besar tentu para sahabat Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam akan
lebih dulu mengawalinya. Tidak ada generasi yang lebih rakus kepada kebaikan
dan lebih kuat kecintaan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam daripada orang-orang beriman yang pernah melihat
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan pernah hidup bersamanya.
Sejarah Peringatan
Maulid Nabi
Dalam catatan sejarah, motivasi orang-orang yang
mula-mula melakukan peringatan maulid Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam -yaitu pengikut mazhab Bathiniyyah- adalah tidak didasari rasa
cinta kepada beliau, tapi untuk tujuan politis.
Pelopor pertama peringatan maulid Nabi shallallahu
'alaihi wasallam adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan
al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah pada pertengahan abad ke empat Hijriyah,
setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke Mesir pada tahun
362 H.
Perayaan maulid diadakan untuk menarik simpati
masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk
untuk mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang
sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.
Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy
menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam
setahun. Dan beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan
setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan
maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka
juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari
Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari
Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).
Fakta sejarah, peringatan maulid tidak ditemukan
pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan masa tiga generasi pertama Islam yang
disebut sebagai generasi terbaik umat ini. Sehingga menyebabkan banyak di
antara ulama yang mengingkarinya dan memasukkannya ke dalam bid'ah haram.
Tak dipungkiri, di antara ulama ada yang
menganggapnya sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik), selama tidak
dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar
al Atsqalani dan as-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi
adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam,
tetapi keberadaannya membawa maslahat walaupun juga tidak lepas dari berbagai
mudharat.
Keabsahan peringatan maulid
Nabi bagi mereka disandarkan pada dalil umum yang tidak berhubungan langsung
dengan titik permasalahan, sedangkan para ulama yang menentangnya membangun
argumentasinya melalui pendekatan normatif tekstual yang tidak ditemukan baik
secara tersurat maupun secara tersirat dalam Al-Quran dan al-Sunnah, dan
diperkuat dengan kaedah umum dalam ibadah yang menuntut adanya dalil spesifik
yang menunjang disyariatkannya suatu ibadah.
Wallahu Ta'ala A'lam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !