Tiada agama tanpa
simbol-simbol. Sungguh tidak mudah
menjelaskan simbolisme agama terhadap anak-anak. Namun sesungguhnya pada orang
dewasa pun hampir sama saja halnya. Orang non-muslim Barat sering melontarkan
anggapan, orang Islam itu ibadahnya menyembah Ka’bah. Tak ubahnya menyembah
berhala dari batu. Anggapan dan pertanyaan serupa bisa juga dialamatkan pada
pemeluk agama lain.
Benarkah umat Kristiani menyembah patung Bunda Maria dan Yesus?
Benarkah umat Budha menyembah patung Siddarta Gautama? Benarkah umat Hindu
menyembah patung Ganesha? Cara paling bijak, tanyakan saja langsung pada umat
beragama yang bersangkutan. Jangan menduga-duga, lalu hasil dugaan dan tafsiran
itu dilekatkan pada orang lain. Ini namanya lebelisasi, satu bentuk kekerasan
dalam wacana keagamaan.
Ajaran
dan praktek agama tidak untuk diperdebatkan, tetapi difahami, dihayati dan
diamalkan
Obyek yang menjadi sesembahan agama bersifat metafisik,
transendental, tidak kasat mata, absolut, gaib, yang kemudian disebut Tuhan. Namun
kalau dikejar lebih lanjut lagi, apa dan siapa yang dimaksud dengan kata;
“Tuhan”, maka diskusinya tidak pernah berakhir dari masa ke masa. Banyak Kitab
Suci menjelaskan siapa Tuhan, dan ribuan judul buku telah ditulis untuk
membahas kata dan konsep Tuhan, baik berdasarkan Kitab Suci maupun analisis
filsafat.
Masing-masing agama memiliki konsep, doktrin, tradisi dan tatacara
beribadah bagaimana menyembah Tuhan. Makanya setiap agama memiliki konsep
tempat suci dan hari suci untuk melakukan ibadah. Tetapi, lagi-lagi, kalau
masing-masing konsep itu diperdebatkan, pasti tidak akan pernah selesai dan
mungkin hanya akan menyakiti pihak lain. Ajaran dan praktek agama tidak untuk
diperdebatkan, tetapi difahami, dihayati dan diamalkan. Kalau berbagi
pengetahuan dan pengalaman antar umat beragama, itu bagus-bagus saja, siapa
tahu akan memperkaya wawasan sehingga terjalin sikap saling memahami dan
menghormati yang lain. Dalam Alqur’an juga dianjurkan untuk saling berdialog
dengan bijak dan baik, jangan main paksa. Adapun soal iman, Allah yang akan
menimbang di akhirat nanti.
Kembali pada soal simbol. Ada
perbedaan antara simbol, tanda, dan ikon. Kalau mengendarai mobil
kehabisan bensin, mata kita akan mencari tanda gambar pompa bensin, sebagai
penunjuk di sekitar itu akan dijumpai penjual bensin. Kalau perut lapar, maka
kalau melihat gambar sendok-garpu berarti tidak jauh lagi aka ada restauran.
Demikian seterusnya, kalau gambar bed tempat tidur, itu menunjukkan rumah
sakit. Namun ada pula penunjuk jalan berupa tulisan dan arah panah. Misalnya
jalan menuju ke bandara, ke terminal, ke istana, dan tempat-tempat penting
lain, biasanya menggunakan penunjuk tulisan dan panah.Tanda-tanda semacam ini
ada yang menyebutnya indeks.
Bagaimana dengan patung Jenderal Sudirman? Itu disebut ikon,
karena terdapat kesesuaian atau kedekatan antara patung dan subyek yang hendak
dihadirkan. Begitupun patung Yesus dan Bunda Maria, itu masuk kategori ikon.
Sedangkan “salib” lebih bersifat simbolik, bukan indeks, bukan pula ikon. Islam
melarang keras penggunaan ikon atau patung dalam peribadatan. Makanya di dalam
masjid tidak akan ditemukan patung. Ini berbeda dari gereja, kuil
atau kelenteng yang membolehkan ikon dalam upacara ritualnya. Tapi
pertanyaannya, apakah mereka menyembah ikon atau patung? Tanyakan saja langsung
pada mereka.
Adapun simbol memiliki konsep dan makna yang lebih kompleks dan
filosofis. Keterkaitan antara “simbol” dan “subyek atau obyek” yang hendak
dihadirkan dihubungkan dengan makna yang dibangun dan disepakati oleh sebuah
komunitas, yang tidak mudah dimengerti oleh komunitas lain. Jadi, karakter
simbol beda dari ikon atau indeks yang langsung bisa difahami oleh siapapun,
yang hampir-hampir tidak menimbulkan perbedaan penafsiran. Kecuali ketika ke
luar negeri, misalnya ke Jepang, tiba-tiba saya merasa buta huruf, tidak
memahami tanda-tanda dalam huruf Kanji.
Simbol yang paling dalam maknanya dan sekaligus paling sensitive
dibahas adalah menyangkut eksistensi Tuhan yang berkaitan dengan format
peribadatan. Ketika orang muslim berebut mendekati dan mencium Ka’bah,
bagaimana memahaminya? Bahkan ketika saling adu tenaga untuk mencium “hajar
aswad”, keutamaan apa sesungguhnya yang hendak dicari? Jawabannya sangat
sensitive terhadap pertanyaan ini. Adapun tentang Tuhan, di dalam Islam yang
lebih popular bukannya simbol, tetapi “nama-nama” dan “ayat-ayat” atau
tanda-tanda kebesaran Tuhan.
Ibarat hubungan dalam keluarga, kita memerlukan nama sebagai
panggilan dan identifikasi. Kita mencintai seseorang karena sifat atau
kepribadiannya, bukan mencintai namanya, sekalipun ada korelasi antara nama dan
pemilik nama. Kita mencintai dan menyembah Dzat Allah, bukan nama Allah yang
terdiri dari lima huruf itu. Bahkan sebanyak 99 nama Tuhan sangat populer
dan bahkan dihafal. Apakah ketika menyebut nama-nama Allah itu hati dan pikiran
kita juga faham dan terhubung denganNya?
Jadi, dalam beragama banyak
sekali simbol dan tanda-tanda. Kita tidak menyembah simbol,
tetapi melalui simbol, tanda dan nama kita ingin memahami dan mendekati Tuhan
yang melampaui ketiganya. Subhanallah. Maha Suci Allah yang dari berbagai
dugaan, rekaan dan tafsiran kita yang lemah ini.
gambar:
google.com / oleh: Komaruddin Hidayat Rektor Universitas Islam
Negeri(UIN)Syarif Hidayatullah, Jakarta/sumber: www[dot]metrotvnews
[dot]com/read/analisdetail/2012/05/22/261/Memberhalakan-Simbol-Agama
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !