![]() |
Gambar : Ilustrasi |
"Bid'ahnya Pembid'ah Prosesi Acara Mempringati Maulid Nabinya Ummat Islam SAW"
Oleh : zoelfah
Segala puji bagi Allah SWT. Shalawat dan Salam semoga selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarga dan para shahabat beliau sekalian.
Aamiiin.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, tidak sedikit kalangan
berkeyakinan bahwa apa saja hal-hal yang menurut mereka tidak pernah dilakukan
oleh Nabi Muhammad saw merupakan suatu hal yang tidak boleh dikerjakan oleh
Muslim saat ini. Ironisnya mereka tidak mampu memberikan hujjah shahih yang
mendukung keyakinannya tersebut. Akibatnya, kalangan ini begitu mudahnya
memvonis sesat, syirik bahkan kufur terhadap setiap Muslim yang berseberangan
dengan keyakinan yang dianutnya. Tanpa berpikir panjang kalangan ini pun
mengklaim bahwa Muslim tersebut adalah ahlul-bid’ah yang kelak dihukumi masuk
neraka. Asumsi semacam ini tidak dapat dibenarkan. Bahkan cenderung mengikis
perbuatan-perbuatan yang dapat di-investasi-kan untuk ‘amalan akhirat. Kalangan
ini menyandarkan klaim bid’ahnya kepada beberapa Hadits Nabi saw berikut ini :
Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah rahimahullah :
“Berkatalah Hudzaifah ra :”Berkatalah
Rasulullah saw :”Allah SWT tidak akan menerima ‘amalan ahli bid’ah, baik
puasanya, shalatnya, shadaqahnya, hajinya, ‘umrahnya, jihadnya, taubatnya dan
tebusannya. Ia keluar dari Islam sebagaimana keluarnya sehelai bulu dari
tepung”. (Lihat dan baca Kitab “Sunan Ibn Majah”, Imam Muhammad bin Yazid
Al-Quzwaini ibn Majah, Bab “Ijtinab Al-Bid’I Wa Al-Jadal”, Hal. 19, Cet. Dar
Ihya At-Turats Al-‘Arabi).
Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud
rahimahullah:
“Berkatalah As-Sulami ra dan Hujr bin Hujr ra :”Kami mendatangi
‘Irbadh bin Sariyah ra, yaitu salah seorang dari orang-orang yang
diturunkan ayat -dan tiada pula (dosa) atas orang-orang yang apabila mereka
datang kepadamu supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata :”aku
tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”.-. Kami memberinya salam dan
berkata :”Kami datangi engkau untuk berziarah, menjenguk dan hendak mengambil
pelajaran”. Maka berkatalah ‘Irbadh ra :”Pada suatu hari, Rasulullah saw
melakukan shalat bersama kami kemudian kami menghadap beliau. Maka Nabi saw
memberikan kami serangkaian nasehat penting yang membuat air mata bercucuran
dan hati bergoncang”. Berkatalah seseorang kepada Rasulullah saw :”Seolah-olah
nasehat ini adalah nasehat perpisahan. Apa yang engkau janjikan kepada kami?”.
Rasul saw menjawab :”Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah SWT,
mendengar dan mematuhi Ulil-Amri walaupun dia adalah seorang hamba yang
berkulit hitam. Sesungguhnya siapa saja di antara kamu yang hidup lama
sesudahku maka ia akan melihat perbedaan yang banyak. Maka ikutilah Sunnahku
dan Sunnah para Khulafaur-Rasyidin yang terpetunjuk.Pegang teguhlah hal
tersebut dan gigitlah dengan gerahammu.Takutilah perkara-perkara yang diadakan
karena sesungguhnya tiap-tiap perkara yang diadakan adalah pembaruan dan setiap
pembaruan adalah kesesatan”.( Lihat dan baca Kitab “Sunan Abi Daud”, Imam Abi
Daud Sulaiman bin Al-Asy’at bin Ishaq Al-Azadi As-Sajsatani, Bab “Fi Luzum
As-Sunnah”, hal. 651, Cet. Dar As-Salam).
Dari keseluruhan riwayat yang telah diutarakan, semuanya
mengandung lafadz بدعة . Perhatikanlah dengan seksama tentang
riwayat-riwayat Hadits Nabi Muhammad saw tersebut. Sesungguhnya sangat keraslah
ancaman dan perlakuan Syari’at terhadap perkara-perkara baru yang diciptakan
(baca : bid’ah) dan orang-orang yang terlibat dalam penciptaan perkara baru itu
(baca : ahlul-bid’ah).
Hal ini tentu saja terlebih dahulu diketahui oleh para Shahabat
Nabi saw hingga para ‘Ulama As-Sunni sesudah masa Shahabat ra. Sungguh sangat
tidak masuk ‘aqal apabila mereka menganjurkan kepada ummat Islam untuk
melakukan bid’ah, suatu hal yang sangat dilarang oleh Syari’at. Yakinilah, para
Shahabat ra dan para ‘Ulama As-Sunni tersebut adalah sekumpulan orang beriman
yang sangat mengerti akan bahaya dan akibat dari perkara bid’ah itu sendiri.
Masalah bid’ah adalah suatu masalah yang agak rumit karena ia
menyangkut dengan berbagai bidang dalam masalah agama kita. Dewasa ini banyak
sekali orang mengatakan “ini bid’ah”, “itu bid’ah” ataupun “ini sesat”dan “itu
dhalalah”. Padahal bila ditelisik, ia tidak mendalami bahkan tidak mengetahui
bagaimana sebenarnya definisi bid’ah itu sendiri. Ada satu peribahasa yang
cocok dianalogikan kepada kalangan ini, yaitu “banyak orang yang mendengar
bunyi lonceng tetapi sedikit sekali yang mengetahui dimana letaknya lonceng
tersebut”.
Salah satu perbuatan yang dianggap “baru” oleh kalangan yang
gemar memakai kata “ahlul-bid’ah” sebagai penghias di bibirnya namun hal
tersebut sudah sangat “popular” dalam kalangan masyarakat Islam dunia adalah
perbuatan yang melukiskan kegembiraan untuk memperingati dan merayakan hari kelahiran
(maulid) Nabi Muhammad saw. Berbagai macam argumen yang telah dipaparkan oleh
kalangan ini tetap berakhir pada satu kesimpulan bahwa perbuatan “baru”
tersebut adalah bid’ah dhalalah.
Sayangnya, hipotesa mereka tidak didukung oleh pemahaman yang
benar terhadap Nash-Nash Syar’i, baik Alqur-an maupun Hadits-Hadits Nabi
Muhammad saw. Anehnya, kalangan tersebut justru menutup mata terhadap
pandangan-pandangan para ‘Ulama As-Sunni dalam menyikapi permasalahan ini.
Padahal, mereka senantiasa berkoar bahwa mereka adalah “As-Sunni” sejati.
Disadari atau pun tidak, mereka tidak lapang dada untuk menerima hal-hal “baru”
yang dilakukan oleh Para Shahabat ra sepeninggalnya Nabi Muhammad saw walaupun
mereka selalu mengajak ummat Islam agar mengikuti dan mencontohi Salafush-Shalih.
Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk menyusun
atau setidaknya mengumpulkan kembali informasi-informasi tentang boleh atau
tidaknya ummat Islam melakukan peringatan dan perayaan maulid Nabi Muhammad
saw. Mengapa kami menyebutnya sebagai pengumpulan kembali informasi tersebut?
Sebenarnya, permasalahan ini sudah selesai diteliti, dibahas dan dikomentari
oleh Para ‘Ulama As-Sunni terdahulu. Namun tak dapat dipungkiri bahwa
kemunculan kembali argumen sejumlah kalangan minoritas yang begitu gencarnya
mem-bid’ah-kan prosesi peringatan dan perayaan maulid Nabi Muhammad saw
tersebut pada akhirnya menjadikan rutinitas masyarakat Muslim dunia ini sebagai
suatu momok yang menakutkan untuk dilakukan oleh ummat Islam masa sekarang yang
ingin menggambarkan kegembiraannya atas kelahiran Nabi Muhammad saw.
Oleh karena pembahasan peringatan dan perayaaan maulid Nabi
Muhammad saw tidak terlepas dari klaim bid’ah dhalalah yang dituduhkan oleh
kalangan tersebut, maka kami terlebih dahulu memulai tulisan ini dengan
pembahasan bid’ah. Kemudian barulah kita telisik keterkaitannya dengan prosesi
peringatan dan perayaan hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad saw.
Pertama, bagaimanakah kita harus memahami maksud “bid’ah’ yang
telah diungkapkan oleh Nabi Muhammad saw tersebut?
Secara etimologi, bid’ah mempunyai 2 makna. Pertama, memulai dan
mengerjakan hal yang baru tanpa ada didasari contoh.
Makna ini berasal dari perkataan :
(Aku memulai sesuatu perkataan atau perbuatan, apabila aku
memulainya maka tidak ada keserupaan sebelumnya).
Sebagai contoh dari makna yang pertama adalah firman Allah SWT :
“Allah SWT merupakan pencipta langit dan bumi”. (Q.S. Al-Baqarah
: 117)
Pada ayat yang lain :
“Katakanlah (hai Muhammad saw): “Aku bukanlah yang pertama di
antara Rasul-Rasul”. (Q.S. Al-Ahqaf : 9)
Makna kedua dari kata bid’ah adalah terputus dan lemah/letih.
Makna demikian berasal dari :
(Letihlah hewan yang menjadi kendaraan apabila telah
berlari dan telah rusak dan lemahlah seseorang apabila telah larilah kendaraannya
atau pun rusak dan tinggallah seseorang tersebut dalam keadaan tidak ada
kendaraan).
Contoh daripada makna kedua adalah perkataan seorang laki-laki
kepada Rasul saw :
“Sesungguhnya aku lemah, maka bawalah aku”.
Pada kejadian tersebut, lafadz bid’ah merupakan lafadz yang
menunjuki kepada terdapatnya kepincangan/cacat pada hewan yang
dijadikan kendaraan sehingga berefek kepada penunggangnya tidak dapat lagi
melanjutkan perjalanannya. Demikianlah pengertian bid’ah yang telah dipaparkan
oleh Syaikh Ahmad bin Faris dalam “Maqayis Al-Lughah”, Juz. I, Hal. 203, pada
“Kitab Al-Baa-i”, Cet. Ittihad Al-Kitab Al-‘Arab, 2002.
Selanjutnya, Syaikh Ahmad bin Hijazi Al-Fasyani rahimahullah
dalam Kitabnya “Al-Majalis As-Saniyyah, pada Bab “Al-Majlis Ats-Tsamin Wa Al-‘Isyrun
Fi Al-Hadits Ats-Samin Wa Al-‘Isyrun”, Hal. 87, Cet. Toha Putra, mengutarakan
bahwa bid’ah secara bahasa adalah :
(Perkara baru tanpa didasari contoh sebelumnya).
Syaikh Muhammad bin Ya’qub Al-Fairus Al-Abadi, Juz. III, Hal. 3,
dalam salah satu karangannya, “Al-Muhith”, mengungkapkan bahwa bid’ah adalah
:(Suatu urusan yang pertama adanya).
Syaikh Muhammad bin Abubakar Ar-Razi dalam “Mukhtar Ash-Shihah”,
Hal. 379 mendefinisikan abda’a (bid’ah) sebagai berikut :(Mengadakan sesuatu
tanpa contoh).
Kalau kita menela’ah rataan makna bid’ah dalam kamus-kamus
Bahasa ‘Arab, kita dapati bahwa kebanyakan para ahli lughah
mendefinisikan bid’ah sebagai suatu perkara baru yang diciptakan tanpa
didasari contoh terlebih dahulu. Sedangkan pencipta hal baru tersebut dinamai
dengan mubdi’ ataupun mubtadi’.
Sedangkan secara terminologi Syari’at, Para ‘Ulama As-Sunni
meninjaunya dari dua sudut pandang yang berbeda.
Pertama :
“Bid’ah adalah suatu pembaruan yang tidak mempunyai dalil sama
sekali dalam Syari’at yang membenarkannya. Sedangkan pembaruan yang mempunyai
dalil Syari’at yang membenarkannya maka buka termasuk bid’ah menurut Syara’
walaupun dapat disebut bid’ah secara bahasa”. Pengertian tersebut diutarakan
oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab Al-Hanbali rahimahullah dalam
Kitabnya, “Jaami’ Al-‘Uluum Wa Al-Hikam”, Juz. I, Hal. 226, Cet. Dar
Al-Ma’rifah, 1408 H.
Kedua :
“Bid’ah adalah setiap perkara yang tidak dikenal pada zaman
Rasululullah saw”.
Definisi ini diungkapkan oleh Syaikh ‘Izzuddin ‘Abdul-‘Aziz bin ‘Abdus-Salam
rahimahullah dalam Kitabnya, “Qawaa’id Al-Ahkaam Fii Mashaalih Al-Anaam”,
“Fashl Fi Al-Bid’i”, Juz. II, Hal. 133, Cet. Dar Al-Kutub, 2010 M.
Suatu hal yang wajar apabila kami mengutip pandangan para ‘Ulama
As-Sunni terhadap definisi bid’ah dikarenakan pengertian bid’ah tersebut tidak
terdapat dalam Alqur-an dan Hadits Nabi saw. Hal ini juga lumrah disebabkan
Alqur-an dan Hadits Nabi saw tidak bertugas membuat definisi. Dan Nabi Muhammad
saw pun tidak diutus secara khusus oleh Allah SWT untuk menyampaikan suatu
definisi. Para ‘Ulama As-Sunni lah yang memberikan definisi itu setelah mereka
meneliti, memperhatikan, dan memahami persoalannya dalam Alqur-an dan
Hadits-Hadits Nabi Muhammad saw yang didukung oleh pandangan para Shahabat ra
terhadap suatu permasalahan tersebut.
Ditinjau dari sudut pandang para ‘Ulama As-Sunni yang
mendefinisikan “bid’ah” sebagaimana definisinya Syaikh ‘Abdurrahman bin Ahmad
bin Rajab Al-Hanbali rahimahullah, para ‘Ulama As-Sunni ini menyimpulkan
pengertian “bid’ah” tersebut berdasarkan Hadits Nabi Muhammad saw yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah :
“Berkatalah ‘Aisyah ra :”Berkatalah Nabi saw :”Siapa saja yang
membuat pembaruan dalam agamaku ini dengan hal yang bukan darinya maka ia
tertolak”. (Lihat dan Baca Kitab “Fath Al-Baari Bi Syarh Shahiih Al-Bukhaari”,
Imam Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, pada sub “Kitab Ash-Shulh”,
Bab “Idza Ishthalahu ‘Ala Shulh Jaur Fa Ash-Shulh Mardud”, Juz. V, Hal. 340,
Cet. Dar Al-Hadits).
Berpijak dari Hadits Nabi Muhammad saw tersebut, kita harus
mengetahui terlebih dahulu bahwa Nabi Muhammad saw adalah seorang penyampai
Syari’at dari Allah SWT, sehingga ungkapannya tersebut merupakan ungkapan
Syara’. Oleh karena itu, bid’ah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad saw dalam riwayat-riwayat
tersebut harus pula dipahami dengan pemahaman Syara’. Sebagaimana telah
diutarakan sebelumnya bahwa bid’ah itu bermakna setiap pembaruan, maka
pembaruan yang dilarang adalah pembaruan dalam agama yang berlawanan dengan
sunnah (ketetapan legalitas Syara’) yang diklaim sebagai bagian dari agama.
Jadi, bid’ah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad saw adalah bid’ah yang terlebih
khusus daripada bid’ah secara lughawi (bahasa). Sehingga bila pembaruan
tersebut memiliki dalil-dalil Syar’i maka tidak bisa divonis sebagai bid’ah
yang sesat dan menyesatkan. Akan tetapi, bilamana pembaruan tersebut tidak
dibenarkan oleh dalil-dali Syar’i, maka itulah bid’ah yang terlarang.
Pandangan para ‘Ulama As-Sunni ini didukung pula oleh beberapa
Hadits Nabi saw yang lain, diantaranya : Hadits Nabi saw yang diriwatkan oleh
Imam Hakim rahimahullah :
“Apa yang telah dihalalkan oleh Allah SWT
dalam Kitab Nya maka hal tersebut halal. Apa yang telah diharamklan oleh Allah
SWT maka hal itu haram dan apa yang tidak disebutkan hukumnya maka hal tersebut
adalah kema’afan dari Nya. Terimalah dispensasi dari Nya, karena Allah SWT
tidak pernah lupa”. Kemudian Nabi saw membaca ayat ini :”Tidaklah Tuhanmu itu
lupa”.(Lihat dan baca Kitab “Al-Mustadrik ‘Alaa Shahihain Li Al-Haakim Ma’a Ta’liqaah
Adz-Dzahabi Fii At-Talkhish”, Imam Al-Hakim dan Imam Adz-Dzahabi, Juz. II, Hal.
406). Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni rahimahullah :
“Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan apa saya yang sifatnya
fardhu, maka janganlah kamu sia-siakan. Allah SWT juga telah mengharamkan apa
saja yang sifatnya haram, maka janganlah engkau melangkanhinya. Dan Allah SWT
telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat bagi kamu, bukan karena dia
lupa, maka janganlah kamu permasalahkan”.(Lihat dan Baca Kitab “Sunan
Ad-Daraaquthni”, Imam ‘Ali bin ‘Umar Ad-Daraquthni, Bab “ Ar-Ridhaa’ ”, Juz.
IV, Hal. 183, Dar Al-Ma’rifah, 1966 M)
Dari kedua Hadits tersebut, Nabi Muhammad saw telah memberikan
penegasan bahwa setiap hal yang tidak dikomentari oleh Allah SWT merupakan
suatu dispensasi langsung dari Allah SWT sehingga dapatlah dimengerti bahwa
banyak sekali ‘amalan shalih yang bisa dilakukan walaupun tidak terdapat
anjuran secara sharih dalam Alqur-an maupun Hadits Nabi Muhammad saw. Kedua
Hadits tersebut juga menunjukkan dengan jelas bahwa ashal hukum sesuatu adalah
mubah kecuali jika ada dalil yang menerangkan sebaliknya. Sementara itu apapun
perkara yang bersifat mubah tetap tidak dihukumi berdosa oleh Syari’at walaupun
juga tidak diberi pahala sehingga perkara-perkara mubah tersebut tidak
bertentangan sama sekali dengan ketetapan legalitas Syari’at.
Dari uraian yang telah disebutkan, maka para ‘Ulama As-Sunni
yang menggunakan sudut pandang pertama beranggapan bahwa yang dimaksud “bid’ah”
oleh Nabi Muhammad saw adalah bid’ah yang berlawanan dengan Sunnah. Dengan kata
lain, perkara di dunia ini hanya dihukumi kepada dua. Pertama, bila perkara
tersebut tidak menyalahi legalitas Syara’, maka perkara itu dihukumi Sunnah.
Sebaliknya, bila perkara tersebut menyalahi ketetapan Syara’, maka perkara itu
dihukumi Bid’ah yang diancam neraka oleh Nabi Muhammad saw sebagai hukuman bagi
para pelakunya.
Selanjutnya ditinjau dari sudut pandang kedua, para ‘Ulama
As-Sunni mendefinisikan “bid’ah” sebagaimana definisinya Syaikh ‘Izzuddin
‘Abdul-‘Aziz bin ‘Abdus-Salam rahimahullah. Selain juga berdasarkan Hadits Nabi
Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari ra seperti telah disebutkan
sebelumnya, para ‘Ulama As-Sunni ini menyimpulkan pengertian “bid’ah” tersebut
berdasarkan beberapa Hadits Nabi Muhammad saw lainnya, diantaranya : Hadits
Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah :
“Berkatalah Jarir bin ‘Abdillah ra :”Datanglah sekelompok
manusia dari golongan A’rab kepada Rasulullah saw secara berbaris. Nabi saw
melihat kekurangan mereka yang sangat membutuhkan bantuan. Maka Nabi saw
menganjurkan manusia untuk bershadaqah.Mereka memperlambat anjuran tersebut
sehingga terpancar dari raut wajahnya”. Berkatalah Jabir bin ‘Abdillah ra
:”Datanglah seorang laki-laki dari kalangan Anshar membawakan bungkusan
daripada kertas. Kemudian diikuti pula oleh laki-laki lain secara beriringan
sehingga nampaklah kegembiraan wajahnya”. Kemudian Rasulullah saw berkata
:”Siapa saja yang mengadakan sunnah hasanah (sunnah yang baik) dalam Islam
kemudian orang-orang mengamalkan sunnah hasanah tersebut maka orang tersebut
diberi pahala sebagaimana pahala orang-orang yang mengerjakannya tanpa
dikurangi sedikitpun. Dan siapa saja yang mengadakan sunnah sayyiah (sunnah
yang buruk) kemudian orang-orang mengamalkannya maka orang tersebut diberi dosa
sebagaimana dosa-dosa orang-orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi
sedikitpun”.
“Siapa saja yang menyeru kepada sebuah petunjuk maka baginya
diberikan pahala sebagaimana pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa
dikurangi sedikitpun. Dan siapa saja yang menyeru kepada kesesatan maka dosa
terhadapnya sebagaimana dosa-dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa dikurangi
sedikitpun”. Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah rahimahullah
:
“Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra :”Datanglah seorang laki-laki
kepada Nabi Muhammad saw. Maka Nabi saw menganjurkan kepadanya. Berkatalah
laki-laki tersebut :”Disisiku sedemikian”. Berkatalah Abi Hurairah ra :”Tidak
tinggal seorang laki-laki pun dalam majelis kecuali laki-laki tadi bershadaqah
kepada setiap laki-laki dalam majelis tersebut dengan sesuatu baik sedikit atau
banyak”. Maka berkatalah Rasul saw :”Siapa saja yang mengadakan sunnah yang
baik kemudian orang-orang mengamalkan sunnah tersebut, maka baginya memperoleh
keseluruhan pahala dan pahala orang-orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi
sedikitpun. Dan siapa saja yangmengadakan sunnah yang buruk kemudian
orang-orang mengamalkannya, maka baginya memperoleh dosa secara keseluruhan dan
dosa orang-orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun”.
Beranjak dari sudut pandang yang kedua ini, maka lafadz “bid’ah”
dalam ungkapan Nabi Muhammad saw dapat dipahami sebagai hal-hal apa saja yang
belum ada ataupun tidak dikenal pada masa Rasulullah saw baik hal tersebut bisa
saja dikategorikan sebagai hal baik, seperti mengumpulkan seluruh Alqur-an
dalam satu mushaf, membukukan Hadits-Hadits Nabi Muhammad saw, mendirikan
madrasah dan seterusnya ataupun dapat pula dikategorikan sebagai hal yang
jelek, misalnya berkeyakinan sebagaimana keyakinannya sekte Al-Jabbariyah,
Al-Qadariyah, Al-Murji’ah, mencampuradukkan pelajaran keagamaan dengan falsafah
kafir, meninjau masuknya bulan puasa bukan dengan sistem rukyah, melaksanakan
shalat Jum’at di rumah seorang diri dan lain sebagainya. Bahkan perkara baru
tersebut mencakup juga urusan keduniawian, seperti mengendarai sepeda motor,
mobil, menggunakan internetan dan seterusnya.
Pandangan para ‘Ulama As-Sunni ini disertai pula oleh beberapa
riwayat daripada Para Shahabat Nabi saw, yaitu : Riwayat Shahabat ‘Umar bin
Khaththab ra oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah :
“Dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qari ra :”Saya keluar bersama
Sayyidina ‘Umar bin Khaththab ra pada suatu malam di Bulan Ramadhan ke Mesjid
Madinah. Didapatilah dalm mesjid itu orang-orang yang shalat tarawih dalam keadaan
bercerai-berai. Ada yang shalat secara sendiri dan ada pula orang yang shalat
dengan beberapa orang di belakangnya. Maka ‘Umar bin Khaththab ra berkata
:”Saya berpendapat akan menyatukan orang-orang ini. Kalaulah disatukan dengan
satu orang imam, sesungguhnya hal tersebut lebih serupa dengan shalatnya
Rasulullah saw”. Maka ‘Umar bin Khaththab ra menyatukan orang-orang shalat
tersebut di belakang seorang imam, yaitu Ubay bin Ka’ab ra. Kemudian pada suatu
malam yang lain, kami datang ke mesjid, lalu kami melihat orang-orang shalat
dibelakang shalat seorang imam. Berkatalah ‘Umar bin Khaththab ra :”Ini adalah
bid’ah yang paling baik”. “Berkatalah Mujahid ra :”Aku memasuki mesjid bersama
‘Urwah bin Zubair ra. Di ketika itu, ‘Abdullah bin ‘Umar duduk menghadap ke
kamar ‘Aisyah ra. Ketika ada sekelompok manusia mengerjakan shalat dhuha di
mesjid, kami pun menanyakan hal tersebut kepada ‘Abdullah bin ‘Umar ra,
maka beliau menjawab :”Hal tersebut adalah bid’ah”.(Lihat dan Baca Kitab
“Shahiih Al-Bukhaari”, Imam Muhammad bin Isma’il Bin Ibrahim Bin Al-Mughirah
Al-Bukhari, Bab “Man Qaama Ramadhan”, Juz. III, Hal. 45, Cet. Dar Thauq
An-Najah, 1422 H).
Berpijak dari beberapa riwayat tersebut, maka Para ‘Ulama
As-Sunni yang melakukan pendekatan menurut sudut pandang kedua untuk memahami
lafadz “bid’ah” yang diungkapkan oleh Nabi Muhammad saw beranggapan bahwa makna
“bid’ah” tersebut tidak terlebih khusus daripada bid’ah secara lughawi
(bahasa). Dalam arti kata, tidak semua perkara-perkara baru langsung dihukumi
sebagai bid’ah. Akan tetapi, bila perkara baru itu menyalahi dalil-dalil
Syari’at maka perkara tersebut dihukumi sebagai pembaruan yang sesat. Dan bila
hal baru tersebut tidak menyalahi dalil-dalil Syari’at maka pembaruan tersebut
adalah pembaruan yang baik.
Bila kita sedikit menelisik redaksi matan dari “Kullu bid’ah
dhalalah”, maka kita mengetahui bahwa pada riwayat tersebut terdapat lafadz
yang bermakna universal, yaitu lafadz “kullu”. Namun, tidak semua lafadz
“kullu” bermakna universal. Tidak sedikit pula yang bermakna
“ba’dhun”(sebagian). Dengan kata lain, ada lafadz “kullu” yang bermakna jami’
dan ada juga yang bermakna majmu’. Hal ini tidak jarang dijumpai dalam
lafadz-lafadz yang mengandung kebalaghahan yang tinggi baik dalam Alqur-an
maupun Hadits-Hadits Nabi Muhammad saw. Diantaranya : Firman Allah SWT dalam
Surat Al-Ahqaf ayat 25 :
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya,
maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali bekas tempat tinggal
mereka. Demikianlah kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa”.
Dalam ayat tersebut, lafadz yang digunakan adalah lafadz
“kullu”, namun tidak bermakna universal. Akan tetapi, makna lafadz “kullu”
tersebut bermakna “ba’dhun”. Artinya, tidak semuanya dihancurkan pada masa itu,
namun yang dihancurkan hanyalah kaum yang tidak beriman kepada Allah SWT.
Firman Allah SWT dalam Surat Al-Anbiya ayat 30 :
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan
antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Dalam ayat ini, lafadz “kullu” juga tidak digunakan dalam bentuk
bermakna keseluruhan karena Allah SWT juga ada menciptakan makhluk hidup dari
api, yaitu bangsa jin. Allah SWT berfirman dalam Surat Ar-Rahman ayat 15 :
“Dan Dia menciptakan jin dari api yang menyala”. Allah SWT
berfirman dalam Surat Al-Kahfi ayat 79 :
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang
bekerja di laut dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan
mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera”.
Dalam ayat yang mengisahkan perjalanan Nabi Musa ‘as dengan Nabi
Khidir ‘as ini juga menunjuki bahwa lafadz “kullu” tersebut bermakna “ba’dhun”
(sebagian). Hanya bahtera yang bagus sajalah yang dirampas oleh raja, sementara
bahtera yang jelek tidak dirampas.
Nabi saw bersabda dalam salah satu riwayat Imam Ahmad ra
:
“Al-Asy’ari ra berkata:“Rasulullah saw bersabda: “Setiap mata
itu berzina”.
Sekalipun perkataan Nabi Muhammad saw tersebut menggunakan
lafadz “ kullu”, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna
sebagian, yaitu mata yang melihat kepada laki-laki/perempuan yang
ajnabi/ajnabiyah.
Dari uraian tersebut maka wajarlah Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
membagi pembaruan menjadi 2 bagian utama sebagaimana yang telah diriwayatkan
oleh Imam Al-Baihaqi rahimahullah dan Abu Na’im rahimahullah.
Pertama :
“Pembaruan dari hal-hal yang bertentangan dengan Kitab, Sunnah,
Atsar atau Ijma’, maka pembaruan ini adalah pembaruan yang menyesatkan”.
Kedua :
“Pembaruan berupa kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah
satu tersebut, maka pembaruan ini adalah pembaruan yang tidak tercela”. (Lihat
dan baca Kitab “Al-Madkhal Ilaa As-Sunan Al-Kubra”, Imam Ahmad bin Al-Husain
bin ‘Ali bin Musa Al-Baihaqi, Juz. I, Hal. 191).
Hal ini pula yang menyebabkan Imam An-Nawawi rahimahullah
beranggapan bahwa ungkapan Nabi Muhammad saw “kullu bid’ah dhalalah” adalah
sebuah ungkapan ‘am makhshush. Artinya, bid’ah yang dimaksud oleh Nabi saw
tersebut adalah kebanyakan bid’ah, bukan keseluruhan bid’ah tanpa pengecualian.
(Lihat dan Baca Kitab “Shahiih Muslim Bi Syarh An-Nawaawi”, Imam Mahyuddin
Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Juz. III, hal. 423, Cet. Dar Al-Hadits).
Bahkan Syaikh ‘Izzuddin ‘Abdul-‘Aziz bin ‘Abdus-Salam
rahimahullah dalam Kitab nya “Qawaa’id Al-Ahkaam Fii Mashaalih Al-Anaam”, Juz.
II, Bab “Fii Al-Bid’i, membagi bid’ah tersebut kepada 5 pembagian :
- Bid’ah wajib, seperti : mempelajari ‘ilmu gramatika ‘Arab untuk memahami Alqur-an dan Hadits Nabi saw.
- Bid’ah sunat, seperti : mendirikan madrasah, melaksanakan shalat tarawih berjama’ah.
- Bid’ah mubah, seperti : berjabat tangan setelah melakukan shalat.
- Bid’ah makruh, seperti : menghiasi mesjid.
- Bid’ah haram, seperti : berkeyakinan seperti keyakinannya sekte Al-Qadariah.
Terlebih lagi sebelumnya, ada beberapa macam soal keagamaan yang
tidak dikenal pada masa Rasul saw, tetapi diadakan oleh para Shahabat ra dan
Tabi’in ra termasuk oleh para Khulafaur-Rasyidin ra, di antaranya membukukan
Alqur-an dan hadits Nabi saw, shalat tarawih berjama’ah, penambahan azan
pertama sebelum shalat Jum’at sehingga menjadi dua kali azan pada pelaksanaan
shalat Jum’at, pembuatan titik-titik dan baris-baris dari huruf-huruf Alqur-an
ataupun pembuatan mihrab di mesjid. Perkara-perkara baru ini juga dikategorikan
dalam bid’ah karena tidak didapati pada zaman Rasul saw. Akan tetapi, bid’ah
yang dilakukan oleh para Shahabat ra dan Tabi’in ra ini adalah bid’ah hasanah
yang diberi pahala sebagai balasan ‘amalan mereka tersebut.
Pembagian bid’ah yang dilakukan oleh para ‘Ulama As-Sunni
tersebut adalah suatu hal yang sangat logis karena makna “kullu” yang
diungkapkan oleh Nabi Muhammad saw adalah “ba’dhun” (sebagian). Andaikan lafadz
“kullu” tersebut diartikan sebagai keseluruhan tanpa terkecuali, maka yang
pertama sekali harus dihukumi sebagai ahlul-bid’ah yang divonis neraka oleh
Syari’ adalah para Shahabat ra terutama para Khulafaur-Rasyidin ra. Padahal
telah jelaslah bagi kita semua tentang riwayat-riwayat Nabi Muhammad saw yang
mengisahkan keutamaan dan kelebihan yang dimiliki oleh para Shahabat nya
sekalian bahkan ada di antara para Shahabat ra yang telah dijamin masuk surga.
Beranjak dari kedua sudut pandang para ‘Ulama As-Sunni tersebut
dalam menyikapi dan memahami ungkapan Nabi saw “kullu bid’ah dhalalah”,
maka pada haqiqatnya mereka sepakat bahwasanya bid’ah yang dimaksud oleh Nabi
Muhammad saw bid’ah yang tidak memiliki legalitas dalil Syar’i sekaligus diberi
ganjaran dosa bagi para pelakunya. Hanya saja, yang melatarbelakangi
perbedaannya adalah pendekatan pemahaman para ‘Ulama itu sendiri dalam
menyimpulkan maksud dari ungkapan Nabi Muhammad saw tersebut. Sebagian
menganalisanya secara global dan sebagian yang lain mengemukakannya secara
terperinci.
Oleh sebab itu, setiap hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi
Muhammad saw maupun generasi Salafus-Shalih tidak bisa langsung dihukumi
sebagai perkara bid’ah yang dhalalah. Akan tetapi harus dicermati terlebih
dahulu apakah perkara tersebut mempunyai landasan Syari’at nya atau tidak. Bila
dilandasi oleh dalil-dalil Syari’at yang membolehkannya ataupun tidak
melarangnya, maka hal tersebut tidak pantas divonis bid’ah dalam Syara’
walaupun terbenar kepada bid’ah secara lughawi (bahasa). Dengan kata lain,
bid’ah tersebut adakalanya dihukumi sebagai bid’ah hasanah (baik) dimana tetap
akan diberi pahala bagi para pelakunya dan ada pula yang divonis sebagai bid’ah
mazhmumah (tercela) yang diancam sesat dan masuk neraka bagi para pelakunya.
Para pelaku bid’ah mazhmumah inilah yang disebut sebagai ahlul-bid’ah dalam
Syari’at.
Imam Al-Ghazali rahimahullah berkomentar dalam salah satu karya
tulisnya “Ihyaa ‘Uluum Ad-Diin” :
”Tidaklah semua bid’ah adalah hal yang terlarang, akan tetapi
setiap yang terlaranglah disebut bid’ah yang berlawanan dengan Sunnah dan
menghilangkan urusan Syari’at”.
Anehnya, di satu sisi kalangan minoritas yang gemar
membid’ah-bid’ahkan tersebut menolak mentah-mentah pandangan para ‘Ulama
As-Sunni yang telah merincikan pembagian bid’ah. Namun di sisi yang lain,
kalangan ini membagi sendiri bid’ah kepada bid’ah diniyah (agama) dan bid’ah
duniawiyah (dunia). Ironisnya lagi, ada juga sebagian dari kalangan minoritas
ini yang menolak pembagian bid’ah oleh kalangannya sendiri dan menganggap bahwa
hal-hal baik yang terjadi saat ini dan tidak dicontohkan oleh Rasul saw dan
para Salafus-Shalih, dihukumi sebagai suatu mashlahah mursalah. Padahal,
pembagian seperti ini juga termasuk ke dalam perkara bid’ah karena tidak pernah
disebutkan oleh Rasulullah saw. Kalangan ini sering sekali berdalih bahwa apa
saja yang dapat menjadi sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya juga
diperintahkan dan bukanlah termasuk perkara bid’ah meskipun sarana itu tidak
pernah ada di zaman Rasul saw, karena sarana dihukumi menurut tujuannya,
sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Jadi, membangun
madrasah, menyusun kitab atau karya ilmiah dan lainnya termasuk hal yang
diperintahkan oleh Syari’at dalam rangka mewujudkan pelaksanaan menuntut ‘ilmu
Syari’at yang diperintahkan dalam agama Islam.
Kalaulah mereka sering sekali berdalih dengan alasan tersebut,
maka mengapa mereka tidak bisa melihat bahwa acara peringatan maulid Nabi saw,
tahlilan, tawashul atau lainnya yang tidak ada format resmi di zaman Rasul saw
merupakan suatu sarana untuk melaksanakan perintah Allah SWT di dalam agama
Islam, seperti silaturrahmi, berdzikir, membaca Alqur-an, bershalawat,
mendengarkan nashihat, berdo’a, berbagi rezeki, bershadaqah, dan berkumpul
dengan orang-orang ‘alim dan shalih?! Bukankah hal ini semua adalah ‘amalan
yang susah sangat jelas telah diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul Nya?!
Bukankah sarana untuk mewujudkan pelaksanaan perintah itu juga diperintahkan?!
Bukankah kegiatan kegiatan keagamaan seperti ini mengandung suatu kemashlahatan
dalam menjaga dan meningkatkan kwalitas iman dan keta’atan terlebih lagi bagi
kita yang hidupnya jauh dari zaman Rasul saw?!
Resapilah dengan seksama bagaimana plin-plan nya pandangan kalangan
minoritas ini dalam menyikapi dan memahami ungkapan Nabi Muhammad saw “kullu
bid’ah dhalalah”. Mereka menolak pandangan ‘Ulama As-Sunni yang mentakhsishkan
riwayat tersebut. Namun anehnya, mereka sendiri tidak sadar bahwa pembatasan
bid’ah kepada bid’ah agama dan bid’ah dunia yang dilakukan oleh mereka juga
termasuk ke dalam kategori takhshish (pengkhususan). Disengaja atau tidak, pada
akhirnya mereka juga terpaksa menggunakannya.
Suatu kesengajaan bila kami memulai pembahasan memperingati dan
merayakan Maulid Nabi Muhammad saw ini dengan mencermati terlebih dahulu maksud
dari ungkapan Nabi saw tersebut. Hal terakhir ini dikarenakan yang selalu
diperbincangkan dalam legalitas peringatan dan perayaan Maulid Nabi Muhammad
saw tidak pernah terlepas dari klaim bid’ah dhalalah.
Kata-kata “Maulid Nabi Muhammad saw” sudah menjadi suatu istilah
yang masyhur dalam lingkungan masyarakat Islam untuk menggambarkan kesenangan
dan kegembiraan terhadap kelahiran Nabi Muhammad saw serta kecintaan kepada
beliau melalui berbagai macam kegiatan yang dilegalkan oleh Syara’, seperti
berpuasa, bershadaqah, membaca Alqur-an, berdzikir, bershalawat kepada Nabi
saw, membaca kisah-kisah kelahiran dan perjuangan Rasul saw, merincikan
sifat-sifat yang melekat pada diri Nabi saw, memberikan santunan makanan kepada
Muslim lainnya ataupun hal-hal lainnya yang dipandang baik oleh Syari’at, baik
secara kelompok atau sendiri.
Sudah semestinya ummat Islam zaman ini mensyukuri dan berbahagia
atas karunia Iman dan Islam yang diberikan oleh Allah SWT. Disadari atau tidak,
kenyataannya karunia tersebut bermuara pada rahmat Allah SWT yaitu hadirnya
Nabi Muhammad saw untuk ummat manusia akhir zaman. Tanpa diutusnya Nabi
Muhammad saw, maka tidak ada yang berani menjamin bahwa kita akan dapat merasakan
karunia besar dari Allah SWT tersebut. Oleh karenanya, kelahiran Nabi Muhammad
saw merupakan suatu peristiwa yang sangat penting yang harus diingat, dihayati
dan dimuliakan. Disebabkan kelahiran beliaulah, sinar keselamatan dan
kebahagiaan mulai terpancar terang.
Beranjak dari uraian tersebut, pada haqiqatnya peringatan dan
perayaan maulid Nabi Muhammad saw merupakan bentuk lain dari ungkapan rasa
syukur kita kepada Allah SWT dengan mengutus seseorang yang menyebabkan kita
mendapatkan suatu karunia Allah SWT yang tak terhingga. Allah SWT berfirman
dalam Surat Al-Baqarah ayat 152 :
“Karena itu, ingatlah kepada Ku niscaya aku ingat pula kepadamu.
Dan bersyukurlah kepada Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat) Ku”.
Allah SWT juga berfirman dalam surat Adh-Dhuha pada ayat 11 :
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau
menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”.
Untuk itu, pada permasalahan memperingati dan merayakan hari
kelahiran Nabi Muhammad saw ada beberapa hal yang harus diperhatikan : Allah
SWT memerintahkan ummat manusia untuk bergembira dengan rahmatNya. Allah
SWT berfirman dalam surat Yunus ayat 58 :
“Katakanlah : “Dengan karunia Allah SWT dan rahmatNya, hendaklah
dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah SWT dan rahmatNya itu lebih baik
dari apa saja yang mereka kumpulkan”.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya kelahiran Nabi Muhammad saw adalah
karunia dan rahmat Allah SWT yang paling besar kepada seluruh makhluk hidup,
bukan hanya terkhusus kepada manusia saja. Adh-Dhahak ra meriwayatkan bahwa Ibn
‘Abbas ra menafsirkan lafadz “Fadhl” sebagai ‘ilmu dan lafadz “Rahmat” sebagai
Nabi Muhammad saw. (Lihat dan baca Kitab “Bahr Al-Muhith”, pada tafsir Surat
Yunus ayat 58)
Allah SWT berfirman :
“Dan tiadalah Kami mengutuskanmu melainkan sebagai rahmat bagi
semesta alam”. (Q.S. Al-Anbiyaa : 107).
Rahmat diutusnya Nabi Muhammad saw meliputi tatacara pendidikan
yang diberikan Nabi Muhammad saw, mengajarkan ‘ilmu Syari’at dan memberikan
petunjuk dalam menempuh jalan yang lurus dalam ruang lingkup keridhaan Allah
SWT untuk sekalian ummatnya.
Dalam surat Ali ‘Imran ayat 164 Allah SWT berfirman :
“Sungguh Allah SWT telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah SWT mengutus seorang Rasul dari golongan mereka sendiri
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka dan
mengajarkan mereka Alqur-an dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum kedatangan
Nabi itu, mereka benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata”. Allah SWT
mengatakan bahwa hari kelahiran para utusan Nya adalah hari yang penuh dengan
kesejahteraan.
Allah SWT juga berfirman dalam Surat Maryam pada ayat ke 15 :
“Kesejehteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada
hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali”.
Pada ayat ke 33 dalam Surat Maryam, Allah SWT kembali berfirman
:
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku
dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup
kembali”.
Kedua ayat dalam surat Maryam tersebut menceritakan kisah Nabi
Yahya ‘as dan Nabi ‘Isa ‘as. Resapilah! Bilamana hari kelahiran Nabi Yahya ‘as
dan Nabi ‘Isa ‘as merupakan suatu kesejahteraan baik bagi dirinya maupun
ummatnya, maka kesejahteraan yang terdapat pada hari kelahiran Nabi Muhammad
saw lebih besar dikarenakan Nabi Muhammad saw adalah pemimpin seluruh Nabi dan
Rasul sebelumnya. Nabi Muhammad saw adalah orang yang bergembira dengan
kelahirannya sendiri sehingga Nabi saw memperingati dan merayakan hari
kelahirannya :
“Sesungguhnya Rasululullah saw ditanyakan
tentang puasa hari Senin. Maka Rasul saw menjawab : “Pada hari tersebut aku
dilahirkan dan pada hari itu pula diturunkannya Alqur-an kepadaku.” (Lihat dan
Baca Kitab “Shahiih Muslim Bi Syarh An-Nawaawi”, Imam Mahyuddin Yahya bin
Syaraf An-Nawawi, Bab “Istihbab Shiyam Tsalatsah Ayyam Min Kulli Syahr Wa Shaum
Yaum ‘Arafah Wa ‘Asyura Wa Al-Itsnain Wa Al-Khamis”, Juz. IV, Hal. 307, Cet.
Dar Al-Hadits). Nabi Muhammad saw adalah orang yang mensyukuri hari ketika
Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunia Nya pada hari tersebut :
“Tibalah Nabi saw di Madinah, maka Nabi saw melihat Yahudi
berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka Nabi saw bertanya : “Apaini?” Yahudi menjawab
: “Ini adalah hari kemenangan. Ini adalah hari dimana Allah telah menyelamatkan
Bani Israil dari musuh-musuh mereka, maka Musa pun berpuasa. ”Maka Nabi saw
berkata : “Sesungguhnya kami lebih berhak daripada Musa daripada kalian.” Maka
Nabi saw berpuasa dan memerintahkan dengan melakukan puasa pada hari tersebut.”
(Lihat dan Baca Kitab “Fath Al-Baari Bi Syarh Shahiih Al-Bukhaari”, Imam Ahmad
bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Bab “Shiyam Yaum ‘Asyura”, Juz. IV, Hal. 287,
Cet. Dar Al-Hadits).
Ketahuilah bahwa sebenarnya yang pertama sekali melukiskan
kegembiraan hari kelahiran Nabi Muhammad saw dengan memperingati dan merayakannya
adalah Nabi Muhammad saw sendiri. Riwayat-riwayat Hadits Nabi saw yang telah
diutarakan tersebut telah memaparkan dengan jelas kepada kita bahwa Nabi
Muhammad saw mengungkapkan rasa syukur nya kepada Allah SWT dengan kelahirannya
pada hari Senin sehingga beliau mengagungkan hari tersebut dengan cara
berpuasa.
Rasa gembira kita selaku ummat Islam atas kehadiran Nabi
Muhammad saw sebagai pelita di dunia ini tidak lain adalah karena dorongan
naluri kita sebagai manusia normal. Maka suatu kewajaran jika ummat Islam yang
mengaku mencintai Nabi Muhammad saw bergembira dan bersyukur kepada Allah SWT
yang telah melahirkan Rasul saw ke dunia ini di setiap waktu dan kesempatan,
tidak hanya di hari kelahiran beliau -yaitu hari Senin Rabi’ul-Awal- disebabkan
beliau adalah karunia terindah dan teragung yang dihadiahkan oleh Allah SWT
kepada ummat manusia.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya tentang perkara baru
yang tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw pada pembahasan bid’ah, maka
kegiatan untuk melukiskan kegembiraan dalam memperingati dan merayakan hari
kelahiran Nabi Muhammad saw tidak mesti dilakukan dengan tatacara berpuasa.
Akan tetapi, boleh juga digambarkan dengan kegiatan-kegiatan lain selama
kegiatan tersebut bukanlah perkara yang dilarang oleh Syar’iat untuk
melakukannya.
Bahkan, kegiatan berupa pemberian makanan yang lazim
diperdapatkan dalam masyarakat Islam ketika memperingati dan merayakan maulid
Nabi saw tidak terlepas dari anjuran bershadaqah yang disunnahkan oleh Syara’.
Begitu juga halnya dengan pembacaan ayat Alqur-an, bershalawat kepada Nabi saw
dan membaca kisah-kisah kenabian. Semua perkara ini memiliki legalitas yang
kuat dalam Syari’at serta memiliki dalil langsung dari firman Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Ahzab ayat 58 :
“Sesungguhnya Allah SWT dan para Malaikat Nya membaca
shalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian membaca
shalawat disertai salam kepadanya”.
Dalam Surat Hud ayat 120, Allah SWT berfirman :
“Dan semua kisah dari Rasul-Rasul, Kami ceritakan kepadamu,
ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu dan dalam surat ini telah
datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang
beriman”.
Menanggapi dakwaan kalangan yang memvonis sesat ummat Islam yang
bergembira untuk memperingati dan merayakan maulid Nabi Muhammad saw yang
membaca dan menghayati pembacaan kisah Nabi Muhammad saw yang dimulai dari
kelahirannya, keturunannya, keluarganya, sifat dan karakteristiknya sampai pada
perjuangannya yang sering dibacakan dari kitab-kitab seperti Al-Barzanji,
Ad-Diba’i, Simtudh-Dhurar, Dhiyaul-Lami’ ataupun kitab-kitab kisah lainnya
bahwa hal tersebut adalah sebuah pengkultusan kepada Nabi Muhammad saw
sebagaimana pengkultusan ummat Nashrani kepada Nabi ‘Isa ‘as, maka hal itu
adalah dakwaan yang sangat keliru dan semakin mempertontonkan kedangkalan
pemikiran mereka dalam menelisik dan memahami dalil-dalil yang dikemukakan oleh
Syari’.
Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas ra :
“Ibn ‘Abbas ra mendengar ‘Umar ra berkhutbah di atas mimbar
:”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda :”Janganlah engkau memujiku (dengan
berlebihan) seperti kaum Nashrani memuji anak laki-laki maryam karena aku
hanyalah hamba Nya. Maka ucapkanlah bahwa Muhammad hanyalah seorang hamba Allah
SWT dan utusan Nya”. (Lihat dan Baca Kitab “Fath Al-Baari Bi Syarh Shahiih
Al-Bukhaari”, Imam Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Juz. X, Hal. 246, No.
3189).
Resapilah maksud dari perkataan Nabi saw tersebut. Pengkultusan
yang dilarang oleh Nabi Muhammad saw kepada dirinya adalah pengkultusan yang
menyerupai pengkultusan ummant Nashrani kepada ‘Isa ‘as, yaitu anggapan mereka
bahwa ‘Isa ‘as adalah anak Allah SWT yang berhak juga untuk disembah sebagai
Tuhan.
Hal demikian tentu saja sangat jauh berbeda dengan lantunan
puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw yang terdapat dalam Kitab-Kitab kisah
maulid Nabi saw tersebut. Pujian yang disematkan kepada Nabi saw tidaklah
sampai mencabut status Nabi saw sebagai manusia biasa dan menganggapnya sebagai
manifesto Tuhan di permukaan bumi ini.
Imam Muslim meriwayatkan suatu riwayat dari Hasan Bin Tsabit ra
:
“Sesungguhnya ‘Umar ra menegur Hasan ra yang sedang melantunkan
sya’ir di dalam Mesjid, maka Hasan ra berkata :”Sungguh aku telah melantunkan
ini dihadapan orang yang lebih baik daripada engkau (yaitu Rasulullah saw).
Kemudian Hasan ra berpaling kepada Abu Hurairah ra, maka berkatalah ia
:”Bukankah saat melantunkan sya’ir ini Rasulullah saw mendengarkanku seraya berkata
menjawabnya dariku :”Ya Allah, bantulah ia dengan (kekuasaan) Ruhul-Qudus?” Abu
Hurairah ra menjawab :”Ya Allah,,, benar”.(Lihat dan baca Kitab “Shahiih Muslim
Bi Syarh An-Nawaawi”, Imam Mahyuddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Bab “Fadhail
Hasan bin Tsabit”, Juz. 8, Hal 283, Cet. Dar Al-Hadits).
Imam Al-Hakim rahimahullah meriwayatkan suatu riwayat dari
‘Abbas bin ‘Abdul-Muththalib ra dalam Kitabnya “Al-Mustadrak”, pada Bab
“Fadhail Shahabat ‘Abbas ra”, :
“,,,maka aku mendengar ‘Abbas bin ‘Abdul-Muththalib ra berkata
:”Ya Rasulullah, sesungguhnya aku ingin menyanjungmu.” Rasul saw menjawab
:”Katakanlah…”. Maka ‘Abbas ra membacakan sya’irnya tersebut….”.
Selanjutnya, kita sering mendapati dalam pembacaan kisah
kelahiran Nabi Muhammad saw adanya prosesi berdiri yang dikenal dengan istilah
“mahallul-qiyam”. Prosesi ini juga tidak terlepas dari klaim bid’ah dhalalah
yang dilontarkan oleh kalangan minoritas tersebut. Kita tidak usah terkecoh
dengan klaim-klaim mentah seperti ini.
Rasulullah saw sendiri menganjurkan para Shahabat ra untuk
berdiri demi menghormati tokoh mereka. Nabi saw bersabda :
“Bahwa sesungguhnya Bani Quraidhah sepakat atas putusan hukum
Sa’ad bin Mua’dz ra, maka Rasulullah saw mengutus utusan kepadanya untuk
menghadap. Lalu ia datang. Rasulullah saw berkata :”Berdirilah kalian karena
Tuan kalian”. Ataupun Rasul saw berkata :”sebaik-kamu”. Lalu Sa’ad duduk di
dekat Rasul saw, kemudian Rasul saw berkata :”Mereka sepakat atas keputusan
hukummu.” Sa’ad berkata :”Sungguh aku putuskan, orang-orang yang memerangi
harus dibunuh dan keluarga mereka ditawan.” Nabi saw berkata :”Niscaya engkau
memberi hukum Allah Yang Maha Merajai.” (Lihat dan baca Kitab “Shahiih Muslim
Bi Syarh An-Nawaawi”, Imam Mahyuddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Bab “Jawaz
Qital Min Naqshi Al-‘Ahdi”, Juz. 6, Hal 335, Cet. Dar Al-Hadits).
Di lain kesempatan, Nabi Muhammad saw pernah pula membiarkan
salah seorang shahabatnya, Hasan bin Tsabit ra berdiri menghormati beliau. Saat
bertemu Nabi Muhammad saw, ia bangkit dan mendendangkan sya’ir :
“Berdiriku karena yang mulia (Nabi saw) adalah keniscayaan,
meninggalkan kewajiban itu tidak benar. Aku heran pada orang yang cerdik
pandai, melihat keelokan ini (Nabi saw) dan enggan berdiri”.
Keputusan Nabi Muhammad saw tersebut merupakan wujud pengakuan
beliau atas legalitas berdiri bagi orang yang dimuliakan. Dengan kata lain,
berdiri untuk menghormati orang yang mulia kedudukannya dalam Islam hukumnya
sunnah berdasarkan penetapan Nabi saw tersebut.
Pada akhirnya, semua kegiatan yang dilakukan dalam peringatan
dan perayaan maulid Nabi Muhammad saw pada dasarnya merupakan anjuran yang
menghantarkan kita untuk semakin mencintai Rasulullah saw dan mengerjakan
perbuatan ta’at. Dan segala sesuatu yang dapat menghantar kita kepada sesuatu
yang dianjurkan oleh Syari’at maka hukumnya sama dengan yang dianjurkan sesuai
dengan qa’idah :
(Sarana suatu perbuatan hukumnya sama dengan tujuannya).
Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan, maka dapatlah
disimpulkan beberapa hal :
- Bila berpijak pada pandangan para ‘Ulama As-Sunni yang menghukumi lafadz “kullu bid’ah dhalalah” bermakna universal, maka prosesi peringatan dan perayaan maulid Nabi Muhammad saw saat ini adalah suatu perkara Sunnah (ketetapan legalitas Syara').
- Bila berpijak pada pandangan para ‘Ulama As-Sunni yang memahami lafadz “kullu bid’ah dhalalah” bermakna sebagian ataupun ‘am makhsush, maka prosesi peringatan dan perayaan maulid Nabi Muhammad saw saat ini adalah bid’ah hasanah (perkara baru yang baik).Kedua kesimpulan tersebut membawaki kepada berpahalanya setiap Muslim yang melakukan prosesi peringatan dan perayaan Nabi Muhammad saw. Kami tidak berkomentar lagi andaikata ada yang mempertanyakan bilamanakah dalam prosesi peringatan dan perayaan maulid Nabi saw tersebut terdapat hal-hal yang dilarang atau pun diharamkan oleh Syara’, seperti bercampur baurnya perempuan dan laki-laki non murim dan lain sebagainya yang merupakan perkara yang diharamkan?! Mengapa? Karena hal-hal yang telah terlarang ataupun diharamkan oleh Syari’at untuk melakukannya -apapun jenisnya- tetap saja hukum keharamannya tidak berubah. Namun, yang harus diingat adalah status keharamannya tetap saja terbatasi pada hal-hal yang telah diharamkan oleh Syara’, bukanlah diri prosesi peringatan dan perayaan maulid Nabi Muhammad saw.
Pandangan para ‘Ulama As-Sunni terhadap peringatan dan perayaan
Maulid Nabi Muhammad saw : Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah :
“Seandainya aku memiliki emas seumpama Gunung Uhud, niscaya aku
akan menafkahkannya kepada orang yang membacakan maulidir-Rasul”. (Lihat dan
Baca Kitab “Haasyiyah I’aanah Ath-Thaalibiin”, Imam Sayyid Abibakar Al-Bakri
bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Juz. III, Hal. 363-365, Cet. Toha
Putra). Imam Al-Junaid Al-Baghdadi rahimahulllah :
“Siapa saja yang menghadiri maulidir-Rasul dan mengagungkan
Rasul saw, maka ia adalah orang yang memperoleh kemenangan dengan iman”. (Lihat
dan Baca Kitab “Haasyiyah I’aanah Ath-Thaalibiin”, Imam Sayyid Abibakar
Al-Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Juz. III, Hal. 363-365, Cet.
Toha Putra). Imam Syamsuddin Muhammad bin ‘Abdullah Al-Jaziri rahimahullah
:“Sungguh telah diperlihatkan di dalam tidur (mimpi) bahwa sesungguhnya Abu
Lahab setelah kematiannya, ditanyakan kepadanya :”Bagaimana keadaanmu?”. Maka
Abu Lahab menjawab :”(Aku berada) di dalam neraka, hanya saja siksaan yang
diringankan dariku adalah pada hari Senin dan aku bisa menghisap air sekedarnya
dari sela-sela jari -lalu Abu Lahab member isyarah dengan ujung jarinya- dan
sungguh semua itu karena aku telah memerdekakan Tsuwaibah ketika ia
menyampaikan kabar gembira dengan lahirnya Nabi saw serta disebabkan ia juga
menyusui Nabi saw”. Maka jika Abu Lahab yang kafir yang telah diturunkan ayat
Alqur-an untuk mencelanya diberi ganjaran kebaikan di dalam neraka karena
bergembira pada malam maulid Nabi Muhammad saw, lalu bagaimanakah dengan
seorang Muslim yang mengesakan Allah SWT yang termasuk ummat Nabi
Muhammad saw, menampakkan kesenangan dengan kelahiran Beliau dan mengeluarkan
apa saja yang dia mampu demi kecintaannya kepada nabi saw?”. Demi umurku,
sesunggguhnya yang pantas bagi mereka dari Allah Yang Maha Pemurah adalah
memasukkan mereka dengan keutamaannya ke dalam surga yang penuh kenikmatan”.
(Lihat dan Baca Kitab “Al-Haawi Li Al-Fataawi”, Imam Jalaluddin ‘Abdurrahman
bin Abibakar As-Suyuthi”, Bab “Husn Al-Maqshud Fi ‘Amal Al-Maulid”, Juz. II,
Hal. 221-232, Cet. Dar Al-Fikr, 2004 M). Imam Isma’il bin ‘Umar bin Katsir
rahimahullah :
“… Raja Al-Muzhaffar Abu Sa’id Al-Kaukabari adalah seorang
dermawan, pemimpin yang besar, serta raja yang mulia yang memiliki peninggalan
yang baik. Dan dia menyelenggarakan maulid yang mulia di bulan Rabi’ul-Awwal
secara besar-besaran. Ia juga seorang raja yang berotak cemerlang, pemberani,
ksatria, pandai dan ‘adil –semoga Allah SWT mengasihinya dan menempatkannya di
tempat yang paling baik”.
Kemudian Imam Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan komentarnya :
“Ia (Raja Al-Muzhaffar) membelanjakan hartanya sebesar 3000 dinar emas untuk
perayaan maulid Nabi saw”.
Sedikit catatan : Pengingkar Maulid Nabi saw juga tidak segan‐segan
memutarbalikkan fakta (berbohong) atas nama Imam Ibnu Katsir rahimahullah.
Kalangan ini mengatakan bahwa Imam Ibnu Katsir rahimahullah menuliskan dalam
Kitabnya tersebut (Bidayah Wa An-Nihayah) bahwa yang pertama merayakan Maulid
Nabi saw adalah Daulah Fathimiyah yang dibangun oleh seorang budak yang
bernasab kepada kaum Yahudi. Sejatinya yang merayakannya adalah Raja Al‐Muzhaffar
seperti yang telah diutarakan. Imam Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqalani
rahimahullah :
“Dasar ‘amal maulid adalah bid’ah yang tidak dinukilkan dari
seorang pun ‘Ulama Salafush-Shalih dari kurun ke tiga. Akan tetapi, sungguh
‘amal maulid itu memuat kebajikan dan sebaliknya. Oleh karena itu siapa saja
yang memperhatikan kebajikan dan menjauhi keburukan dalam pelaksanaan maulid,
maka ‘amal maulidnya adalah bid’ah hasanah. Jika tidak demikian, maka
sebaliknya. Dan sungguh telah jelas bagiku bahwa apa yang dikeluarkan atas
dasar penetapan (hukum maulid), adalah riwayat yang tersebut di dalam Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw datang ke
Madinah, maka beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura.
Rasulullah saw bertanya kepada mereka (tentang puasa tersebut)? Maka mereka
menjawab :”Pada hari tersebut adalah hari dimana Allah telah menenggelamkan
Fir’aun dan menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa kepada Allah Yang Maha
Tinggi (atas semua itu)”. Maka faedah yang bisa diambil dari hal tersebut
adalah bersyukur kepada Allah SWT atas sesuatu yang terjadi, baik karena menerima
suatu kenikmatan yang besar atau terhindar dari bahaya dan mengulang-ngulang
syukuran tersebut pada hari yang sama setiap tahun. Adapun syukur kepada Allah
SWT dapat dilakukan dengan berbagai macam ‘ibadah, seperti sujud syukur, puasa,
shadaqah dan membaca Alqur-an. Dan adakah nikmat yang paling besar dari
berbagai nikmat selain kelahiran Nabi Muhammad saw, dimana beliau adalah
seorang Nabi yang penyayang, pada hari tersebut?!”.
“Dan format acara yang diselenggarakan dalam maulid Nabi saw
hendaknya dicukupkan dengan menyiratkan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT
seperti yang telah disebutkan, yaitu membaca Alqur-an, menghidangkan jamuan,
shadaqah, mendendangkan pujian pujian kenabian dan kezuhudan yang dapat
menggerakkan hati untuk melakukan kebajikan dan ber’amal demi akhirat.
Sedangkan yang selainnya, seperti mendendangkan lagu (selain pujian tadi),
gurauan dan semisalnya, maka hendaknya yang mubah, yakni yang membuat bahagia
di hari itu, maka tidak menngapa dimasukkan dalam acara maulid Nabi saw. Dan
yang haram atau makruh maka dicegah, begitu pula yang khilaf aula”. (Lihat dan
Baca Kitab “Al-Haawi Li Al-Fataawi”, Imam Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abibakar
As-Suyuthi”, Bab “Husn Al-Maqshud Fi ‘Amal Al-Maulid”, Juz. II, Hal. 221-232,
Cet. Dar Al-Fikr, 2004 M). Imam Jalaluddin ‘Abdirrahman bin Abi Bakar
As-Suyuthi rahimahullah :
“Menurutku bahwa sesungguhnya ‘amal maulid yang berkumpulnya
manusia, membaca beberapa ayat Alqur-an, meriwayatkan hadits‐hadits
tentang permulaan sejarah Nabi dan tentang tanda‐tanda (kejadian‐kejadian)
yang mengiringi kelahirannya adalah bid’ah hasanah yang diberi pahala kepada
yang mengerjakannya karena termasuk sebagian daripada membesarkan kedudukan
Nabi Muhammad saw dan menampakkan kesenangan dan kegembiraan dengan sebab
kelahiran Nabi Muhammad saw yang mulia”.
“Dan sungguh sangat jelas bagiku yang dikeluarkan (diriwayatkan)
atas dasar yang lain (dari pendapat Imam Ibnu HajarAl-‘Asqalani) yaitu apa yang
diriwayatkan oleh Imam Al‐Baihaqi dari Anas ra bahwa sesungguhnya Nabi
saw mengaqiqahkan dirinya sendiri sesudah (masa) kenabian, (padahal)
sesungguhnya telah dijelaskan bahwa kakek beliau ‘Abdul Muththalib telah
mengaqiqahkan (untuk Nabi) pada hari ke tujuh kelahirannya.
“Adapun aqiqah tidak ada perulangan dua kali, maka dari itu
sungguh apa yang dilakukan oleh Nabi saw menerangkan tentang (rasa) syukur
beliau karena Allah telah mewujudkan (menjadikan) beliau sebagai rahmat bagi
semesta alam, dan sebagai landasan bagi umatnya. Oleh karena itu, maka juga
disunnahkan bagi kita untuk menanamkan (menerangkan) rasa syukur kita dengan
kelahirannya (Rasulullah) dengan mengumpulkan (kaum Muslimin), menyajikan
makanan dan semacamnya dari (sebagai) perwujudan untuk mendekatkan diri (kepada
Allah) dan menunjukkan kegembiraan (karena kelahiran beliau)”.
“Sesungguhnya kelahiran Nabi saw adalah paling agungnya
kenikmatan bagi kita semua, dan wafatnya Beliau adalah musibah yang paling
besar bagi kita semua. Adapun syari’at menganjurkan untuk mengungkapkan rasa
syukur dan kenikmatan dan bersabar serta tenang ketika tertimpa mushibah. Dan
sungguh syari’at memerintahkan untuk ber’aqiqah ketika (seorang anak) lahir,
dan supaya menampakkan rasa syukur dan bergembira dengan kelahirannya dan tidak
memerintahkan untuk menyembelih sesuatu atau melakukan hal yang lain ketika
kematiannya bahkan syari’at melarang meratap (an‐niyahah) dan
menampakkan keluh kesah (kesedihan). Maka jelaslah bahwa qa’idah‐qa’idah
syari’at yang menunjukkan yang paling baik pada bulan ini (bulan Maulid) adalah
menampakkan rasa gembira atas kelahirannya Nabi Muhammad dan bukan (malah)
menampakkan kesedihan-kesedihan atas wafatnya Beliau”.
“Tiada sebuah rumah atau mesjid atau tempat pun yang dibacakan
didalamnya Maulid Nabi melainkan dipenuhi Malaikat yang meramaikan penghuni
tempat itu dan Allah SWT akan memberikan rahmat dan yang memberikan cahaya itu
yakni ‐Jibril,
Mikail, Israfil, Qarbail, ‘Inail, As-Shafun, Al-Hafun dan Al-Karubiyun-, maka
sesungguhnya mereka (malaikat) itulah yang menshalawatkan (mendo’akan)nya
karena membaca Maulid Nabi”.
“Dan tidak ada seorang Muslim pun yang membaca Maulid Nabi
di dalam rumahnya melainkan Allah SWT akan mengangkat wabah kemarau, kebakaran,
karam, kebinasaan, kecelakaan, kebencian, hasad dan penglihatan yang jahat,
serta pencurian dari ahli‐ahli rumah tersebut. Maka jika seorang Muslim
tersebut meningggal dunia, Allah SWT akan memudahkan baginya dalam menjawab
(pertanyaan) Malaikat Munkar dan Nakir. Dan mereka akan ditempatkan di dalam
tempat yang benar pada sisi‐sisi raja yang berkuasa (Allah SWT)”. (Lihat
dan Baca Kitab “Al-Haawi Li Al-Fataawi”, Imam Jalaluddin ‘Abdurrahman bin
Abibakar As-Suyuthi”, Bab “Husn Al-Maqshud Fi ‘Amal Al-Maulid”, Juz. II, Hal.
221-232, Cet. Dar Al-Fikr, 2004 M dan Kitab “Haasyiyah I’aanah Ath-Thaalibiin”,
Imam Sayyid Abibakar Al-Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Juz. III,
Hal. 363-365, Cet. Toha Putra). Imam Muhammad bin ‘Abdurrahman As-Sakhawi
rahimahullah :
“Tidak pernah diperbincangkan dari salah seorang ulama
Salafush-Shaleh pada kurun ke tiga yang mulia dan sungguh itu baru ada
setelahnya. Kemudian umat Islam diseluruh penjuru daerah dan kota‐kota
besar senantiasa memperingati Maulid Nabi dibulan kelahiran Beliau. Mereka
mengadakan jamuan yang luar biasa dan diisi dengan perkara‐perkara
yang menggembirakan serta mulia, dan bershaqadah pada malam harinya dengan
berbagai macam shadaqah, menampakkan kegembiraan, bertambahnya kebaikan bahkan
diramaikan dengan pembacaan Kitab-Kitab Maulid Nabi yang mulia, dan menjadi
jelaslah keberkahan dan keutamaan (Maulid Nabi) secara merata dan semua itu
telah teruji”.
“Adalah kelahiran Nabi yang mulia yang paling shahih adalah pada
malam Senin, 12 Rabi’ul-Awwal. Ada juga yang berpendapat pada malam
tanggal 2. Dikatakan juga pada tanggal 8, 10 dan lain sebagainya. Maka dari
itu, tidak mengapa mengerjakan kebaikan pada setiap hari‐hari
ini dan malam-malamnya dengan kemampuan yang ada bahkan bagus dilakukan pada
hari‐hari
dan malam- malam bulan (Rabi’ul-Awwal)”.“Dan adapun pembacaan (kisah) kelahiran
Nabi maka seyogyanya yang dibaca hanya yang disebutkan oleh para ulama Ahli
Hadits dalam karangan‐karangan mereka yang khusus berbicara tentang
kisah kelahiran Nabi, seperti Al‐Maurid Al‐Haniy karya Al‐‘Iraqi
(Saya juga telah mengajarkan dan membacakannya di Mekkah), atau tidak khusus
dengan karya‐karya
tentang Maulid saja tetapi juga dengan menyebutkan riwayat‐riwayat
yang mengandung tentang kelahiran Nabi, seperti kitab Dalail An‐Nubuwwah
karya Al‐Baihaqi.
Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudlah Nabi. Karena
kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah riwayat‐riwayat
bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih terus memunculkan riwayat
riwayat dan kisah‐kisah yang lebih buruk dan tidak layak didengar, yang tidak boleh
diriwayatkan dan didengarkan, justru sebaliknya orang yang mengetahui
kebathilannya wajib mengingkari dan melarang untuk dibaca. Atas semua itu
sesungguhnya tidak masalah ada pembacaan kisah - kisah maulid dalam peringatan
Maulid Nabi, bahkan (juga) cukup membaca beberapa ayat Alqur-an, memberi makan
dan sedekah, didendangkan bait‐bait Al-Madaih Nabawiyyah (pujian‐pujian
terhadap Nabi) dan (sya’ir) kezuhudan (zuhudiyah), yang bisa menggerakkan hati
untuk berbuat baik dan ber’amal untuk akhirat. Dan Allah memberi petunjuk
kepada orang yang Dia kehendaki”. (Lihat dan Baca Kitab “Al-Ajwiibah
Al-Mardhiyah”, Imam Muhammad bin ‘Abdurrahman As-Sakhawi”, Bab “Suilat ‘An Ashl
‘Amal Al-Maulid Asy-Syarif”, Juz. III, Hal. 1116-1120, Cet. Dar Ar-Rayah, 1418
H). Imam Sayyid Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki Al-Hasani rahimahullah :
“Kami memandang sesungguhnya memperingati Maulid Nabi saw yang
mulia itu tidak mempunyai bentuk‐bentuk yang khusus yang mana semua orang harus
dan diharuskan untuk melaksanakannya. Akan tetapi segala sesuatu yang
dilakukan, yang dapat menyeru dan mengajak manusia kepada kebaikan dan
mengumpulkan manusia atas petunjuk (agama) serta menunjuki mereka kepada hal‐hal
yang membawa manfaat bagi mereka, untuk dunia dan akhirat maka hal itu dapat
digunakan untuk memperingati Maulid Nabi”. “Oleh karena itu andaikata kita
berkumpul dalam suatu majelis yang disitu dibacakan puji‐pujian
yang menyanjung Al‐Habib (Sang Kekasih yakni Nabi Muhammad saw), keutamaan beliau,
jihad (perjuangan) beliau, dan kekhususan-kekhususan yang berada pada beliau
-lalu kita tidak membaca kisah Maulid Nabi saw yang telah dikenal oleh berbagai
kalangan masyarakat dan mereka menyebutnya dengan istilah “Maulid” (seperti
Maulid Diba’, Barzanji, Syaraful-Anam, Al‐Habsyi, dan lain
sebagainya)-, yang mana sebagian orang menyangka bahwa peringatan Maulid Nabi
itu tidak lengkap tanpa pembacaan kisah‐kisah Maulid tersebut
kemudian kita mendengarkan mau’izhah‐mau’izhah, pengarahan‐pengarahan, nasehat‐nasehat
yang disampaikan oleh para ‘Ulama dan ayat‐ayat Alaur-an yang
dibacakan oleh seorang Qari, Saya mengatakan : “Andaikan kita melakukan itu
semua maka itu sama halnya dengan kita membaca kisah Maulid Nabi saw yang mulia
tersebut dan itu termasuk dalam makna memperingati Maulid Nabi saw yang mulia. Dan
saya yakin bahwa peringatan yang saya maksudkan ini tidak menimbulkan perbedaan
serta adu domba antara dua kelompok”. (Lihat dan Baca Kitab “Haul Al-Ihtifaal
Bi Dzikr Al-Maulid An-Nabawi Asy-Syariif”, Imam Sayyid Muhammad bin ‘Alwi
Al-Maliki Al-Hasani, Hal. 40, Cet. Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah, 2010 M).
“Banyak orang keliru dalam memahami subtansi maulid Nabi saw
yang kami serukan dan kami anjurkan untuk menyelenggarakannya. Mereka
mendefinisikannya secara keliru yang kemudian di atasnya dibangun banyak persoalan‐persoalan
panjang dan perdebatan‐perdebatan yang luas yang membuat mereka
menyia‐nyiakan
waktu mereka dan para pembaca. Persoalan dan perdebatan ini tidak bernilai sama
sekali laksana debu yang beterbangan. Karena dibangun di atas asumsi‐asumsi
yang keliru”.
“Pertemuan‐pertemuan dalam rangka merayakan maulid ini
adalah wahana besar untuk mengajak mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ia adalah
kesempatan emas yang layak untuk tidak dilewatkan begitu saja. Bahkan wajib
bagi para da`i dan ‘Ulama untuk mengingatkan ummat akan budi pekerti, etika,
aktivitas, perjalanan hidup, mu’amalah dan ibadah beliau dan menasehati serta
membimbing mereka menuju kebaikan dan kesuksesan dan memperingatkan mereka akan
bencana, bid`ah, keburukan dan fitnah”. (Lihat dan baca Kitab “Mafaahim Yajibu
An-Tushahhah”, Imam Sayyid Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki Al-Hasani).
Syaikh ‘Ali Jum’ah :
“Menyelenggarakan maulid Nabi saw termasuk sebaik-baik ‘amalan
dan sebesar-besar qurbah (‘ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT)
karena hal ini adalah penggambaran dari rasa senang dan cinta kepada Nabi saw.
Dan mencintai Nabi Muhammad saw adalah dasar daripada dasar-dasar iman”. (Lihat
dan baca Kitab “Al-Bayan Li Maa Yasyghil Al-Adzhan”, Syaikh DR. ‘Ali
Jum’ah).
Selain itu, banyak di
antara para ‘Ulama As-Sunni lainnya yang mengarang kitab-kitab maulid sebagai
salah satu bentuk ekspresi kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad saw dan
kegembiraan terhadap lahirnya Nabi Muhammad saw, seperti “Al-Burdah”, karya
Imam Muhammad Al-Bushiri rahimahullah, “’Iqd Al-Maulid Jauhar Fi Maulid An-Nabi
Al-Adzhar”, karya Imam Ja’far bin Hasan bin ‘Abdul-Karim rahimahullah,
“Ad-Diba’i”, karya Imam ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Asy-Syaibani
rahimahullah, “Simth Ad-Durar”, karya Imam Habib ‘Ali bin Muhammad bin Husain
Al-Habsyi rahimahullah, “Adh-Dhiyaul-Lami’”, karya Imam Habib ‘Umar bin Hafidz
rahimahullah, “Al-‘Aruus”, karya Imam ‘Abdurrahman bin ‘Ali Al-Jauzi
rahimahullah, “Itmam Ni’mah ‘Ala ‘Al-Alam Bi Maulid Sayyid Walad Adam”, “Ni’mah
Al-Kubra ‘Ala ‘Alam Fi Maulid Sayyid Waladi Adam”, karya Imam Syihabuddin Ahmad
bin Hajar Al-Haitami rahimahullah, “Al-Maurid Ar-Rawi Fi Maulid An-Nabawi”,
karya Imam Nuruddin ‘Ali bin Sulthan Al-Harawi rahimahullah , “Al-Yumm Wa
Al-Is’ad Bi Maulid Al-Khair Al-‘Ibad”, karya Imam Muhammad bin Ja’far
Al-Kattani Al-Hasani rahimahullah, “Al-Mas’udi”, karya Imam ‘Ali Al-Mas’udi
rahimahullah, “An-Nazhm Al-Badi’ Fi Maulid Asy-Syafi’”.
Demikianlah pembahasan
sedikit dari masalah yang membid’ahkan merayakan hari lahir nabi saw….
Jazakumullah
assalamu’alaikum…
assalamu’alaikum…
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !